Nazar adalah mewajibkan kepada diri sendiri karena Allah, untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak wajib. Nazar yang dilakukan dengan lafaz tertentu yang menunjukkan hal itu, seperti menyatakan, “Karena Allah, aku wajib melakukan perbuatan itu,” dan semacamnya.
Allah berfirman, “Dan apa pun infak yang kamu berikan atau nazar yang kamu janjikan maka, sungguh, Allah mengetahuinya….” (Qs. Al-Baqarah:270)
Dalam ayat lain, Allah juga berfirman, “Mereka memenuhi nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata dimana-mana.” (Qs. Al-Insan: 7).
Pembahasan mengenai nazar juga disampaikan oleh Rasulullah dalam sebuah hadist,
“Barangsiapa yang bernazar dengan tujuan untuk mematuhi (perintah) Allah, maka hendaklah ia melaksanakannya. Sebaliknya, barangsiapa yang bernazar dengan tujuan untuk mendurhakai Allah, maka janganlah ia melaksanakan-Nya.” (HR. Bukhari).
Untuk mengetahui macam-macam dan hukum nazar dalam Islam, berikut penjelasannya dari buku Fiqih Sunnah Wanita jilid II karya Abu Malik Kamal:
Macam-Macam Nazar
- Nazar Bebas (Nadzr Muthlaq)
Nazar bebas adalah nazar untuk melakukan suatu perbuatan tanpa menghubungkannya dengan sesuatu yang lain. Sebagai contoh, jika seseorang mengatakan “Karena Allah, wajib bagiku untuk melaksanakan shalat dua rakaat.”
Nazar ini tidak disukai oleh kebanyakan ulama, tetapi mereka berpendapat bahwa hukum memenuhinya adalah wajib dan pelakunya memperoleh pahala karena perbuatannya. Sedangkan, ulama lain berpendapat bahwa hukum memenuhinya adalah sunnah.
- Nazar Mu’allaq
Nazar ini seringkali kita dengar dan menjadi pembahasan di awal tulisan ini. merupakan nazar untuk melakukan suatu perbuatan dengan menggantungkannya kepada datangnya kebaikan atau hilangnya keburukan.
Sebagai contoh, ketika kamu berkata, “Jika Allah menyembuhkanku dari sakit, maka wajib bagiku untuk memberi makan orang miskin.” Hukum nazar muallaq pada dasarnya adalah makruh.
Rasulullah bersabda, “Sungguh, nazar tidak dapat mempercepat atau memperlambat sesuatu (takdir). Hanya orang kikir yang diharapkan dapat memberikan sesuatu dengan bernazar.” (HR. Bukhari).
Hukum-Hukum Bernazar
- Wajib, apabila untuk memenuhi perintah Allah.
Rasulullah besabda, “ Barangsiapa yang bernazar dengan tujuan mematuhi (perintah) Allah, maka hendaklah ia melaksanakannya.” (HR. Bukhari).
Namun, ketika kamu tak sanggup melaksanakannya maka diwajibkan untuk membayar kafarat sebagaimana kafarat sumpah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah,
“Kafarat (denda) karena melanggar nazar sama seperti kafarat karena melanggar sumpah.” (HR. Muslim dan Nasa’i).
- Haram, apabila untuk bermaksiat kepada Allah.
“Nazar tidak boleh untuk tujuan mendurhakai Allah. Dan kafarat yang harus dibayar sama seperti kafarat sumpah.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah).
- Wajib, apabila bernazar untuk sesuatu yang diperbolehkan.
Nazar untuk sesuatu yang mubah atau diperbolehkan dapat dimasukkan ke dalam kategori nazar secara umum, maka nazar jenis itu pun merupakan bagian dari hal-hal yang wajib ditunaikan. Jika tidak bisa memenuhinya maka ia wajib membayar kafarat.
- Barangsiapa bernazar untuk melakukan sesuatu yang tidak disyariatkan Islam atau sesuatu yang disyariatkan tetapi ia tak sanggup memenuhinya, maka hendaklah ia membatalkan nazarnya dan membayar kafarat karenanya.
Seorang berkata kepada Rasulullah, “Abu Israil bernazar untuk terus berdiri, tidak duduk, tidak berteduh, tidak bicara, dan terus berpuasa.”
Rasulullah bersabda, “Perintahkanlah ia untuk berbicara, berteduh, duduk dan menyempurnakan puasanya.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).
Dalam suatu riwayat mengenai orang yang bernazar untuk melaksanakan haji dan berjalan kaki, Rasulullah bersabda, “Sungguh, Allah tidak membutuhkan penyiksaan orang ini terhadap dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah kemudian memerintahkan orang itu untuk menaiki binatang tunggangan dan ia pun mematuhinya.
Meskipun hadist-hadist ini tidak menyebut tentang kafarat, tetapi kafarat tetap diwajibkan, berdasarkan pembatasan di hadist-hadist lain yang lebih terperinci sebagaimana telah dicantumkan di atas (Fiqih sunnah wanita, Abu Malik Kamal hal:125).
- Barangsiapa bernazar tetapi tidak menentukan bentuk nazarnya, maka ia wajib membayar kafarat seperti dalam sumpah.
Misalnya, kamu berkata, “Karena Allah, saya bernazar,” tanpa menyebutkan apa yang menjadi nazar kamu.
Rasulullah bersabda, “Kafarat untuk nazar, jika orang yang bernazar tidak menentukannya sama seperti kafarat dalam sumpah.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ahmad).
- Bernazar untuk bersedekah dengan seluruh harta.
Jika sedekah itu tak berpengaruh apa-apa terhadap keimanan, sikap tawakal, kesabaran, dan kepercayaan kepada Allah, serta tidak mendatangkan bahaya apa pun bagi anak-anaknya, maka ia boleh melakukannya, seperti apa yang dilakukan oleh Abu Bakar.
Namun, apabila ia tak sanggup untuk menahan akibat dari sumpahnya itu, dan khawatir anak-anaknya akan tertimpa kesulitan, maka ia dapat memenuhinya dengan menyedekahkan sepertiga dari hartanya dan membayar kafarat nazar.
Hal ini berdasarkan kisah Ka’ab bin Malik yang hendak menyerahkan seluruh hartanya saat mendengar kabar taubatnya di terima. Namun, Rasulullah baru menyetujui saat Ka’ab berkata sepertiga dari hartanya.
- Ketika seseorang bernazar kemudian ia meninggal, maka walinya wajib memenuhi nazar orang tersebut.
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Sa’ad ibnu Ubadah bertanya kepada Rasulullah tentang ibunya yang meninggal sebelum memenuhi nazarnya, kemudian Rasulullah bersabda,
“Penuhilah nazar ibumu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
- Syirik hukumnya apabila bernazar untuk selain Allah.
Nazar termasuk dalam ibadah, oleh karena itu tak boleh dipersembahkan kepada apa pun atau siapa pun selain Allah. Nazar yang diharamkan misalnya saat seorang perempuan berkata, “Jika anakku sembuh, maka aku akan menyembelih sapi demi tuan Badui,” dan semacamnya.
Nazar seperti itu sama seperti sumpah yang dilakukan dengan nama selain Allah, keduanya sama-sama merupakan penyekutuan terhadap-Nya. Wallahu a’alam
Sumber : Muslimah Daily
Berita Lainnya : Keistimewaan dan Tanda Hadirnya Malam Lailatul Qadar