Dalam Islam, kedudukan harta merupakan hal penting yang dibuktikan bahwa terdapat lima maqashid syariah yang salah satu di antaranya adalah al-maal atau harta. Namun, bagaimana pandangan Islam tentang harta? Berikut penjelasan Islam tentang harta berdasarkan uraian Jaih Mubarok dalam materi yang disampaikan pada kegiatan Training Of Trainer (ToT) Pelatihan Fikih Muamalah, Ekonomi dan Bisnis Syariah pada Jumat (11/03).

Pertama, Teori Istikhlaf. Manusia merupakan khalifah di muka bumi yang tunduk hanya kepada Allah dan alam ditundukkan kepada manusia oleh Allah. Dampak dari teori ini adalah bahwa benda hakikatnya milik Allah dan bukan milik manusia.

Dalam hal kepemilikan atas harta, kepemilikan manusia bersifat istikhlaf, artinya posisinya sebagai wakil dari pemilik yang sesungguhnya, yaitu Allah. Karenanya harta wajib diperoleh, dikembangkan, dan digunakan sesuai dengan kehendak Allah (QS Nisa: 29, al-Taubah: 104).

Kedua, Teori Gharizah Hubb al-Mal. Manusia dianugerahi kehendak (iradah) dan banyak nafsu (syahwah muta‘addidah) terkait harta, baik suka terhadap harta (dzatnya), memiliknya, maupun suka menggunakan dan atau mengambil manfaatnya (QS Ali ‘Imran: 14 dan al-Fajr: 19-10).

Jika tidak memiliki sikap berterima kasih kepada Allah (al-syukr), sabar, zuhud, dan qana‘ah, manusia merupakan makhluk yang tidak pernah puas terhadap apa yang ia miliki.“Dalam hadits riwayat Imam al-Bukhari dijelaskan bahwa jika Bani Adam (manusia) telah memiliki dua lembah harta, maka pasti dia akan mencari lembah harta yang ketiga, manusia tersebut tidak akan pernah merasa puas,” jelas Guru Besar Ekonomi Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati ini. Ketiga, Teori Qiwam al-Hayat.

Harta merupakan media untuk melanjutkan keberlangsungan kehidupan. Keberadaan harta merupakan hal penting untuk menjaga kelanggengan kehidupan (baqa’ al-nafs) dan melanjutkan keturunan (baqa’ al-nasl). Bahkan kadang-kadang harta dianggap lebih utama dalam membangun peradaban sebuah bangsa. Harta merupakan sumber keutaamaan (fadha’il), kemuliaan (al-kiram), kebaikan (ihsan), dan kebahagiaan (sa‘adah).

“Harta merupakan media untuk mencapai kemuliaan (alat al-makarim), menolong (‘aun ‘ala al-dahr), menguatkan agama (quwwah ‘ala al-din), menumbuhkan persaudaraan (mu’allafah li al-ikhwan), menciptakaan kegembiraan hidup di dunia (bahjah al-dunya),” terang Jaih sambil mengutip penjelasan al-Syirazi sebagaimana disampaikan ‘Ali Fikri dalam kitab Mu‘amalah Madiyah wa al-Adabiyyah ketika menafsirkan QS al-Nisa’ ayat 114 dan al-Ra‘d ayat 22-23.

Keempat, Teori al-Wasilah. Tujuan hidup manusia adalah mengabdi kepada Allah (al-‘ubudiyyah), bukan mencari dan mengumpulkan harta (QS al-Dzariyat: 56 dan al-Hajj: 77-78).

Tujuan mencari dan mengumpulkan harta untuk melaksanakan perintah Allah baik dalam bentuk zakat, infaq, wakaf, dan sedekah. Aktivitas duniawi seperti bisnis harus mendukung dzikrullah melalui aktivitas shalat dan ibadah lainnya (QS al-Nur: 37-38).

Kelima, Teori Mas’uliyyah. Pada zaman jahliyah, masyarakat mencari dan mengumpulkan harta dalam rangka membangun kekuatan dan kewenangan (sulthah), dan mereka menjadi warga yang superior yang memiliki hak-hak istimewa. Dalam ajaran Islam, harta merupakan bagian dari nikmat Allah yang harus dipertanggungjawabkan (QS al-Takatsur: 8) dan cara mendapatkan, pengembangan (investasi), dan menggunakan harta harus sesuai dengan ketentuan Allah dan rasul-Nya.

Dengan demikian, umat Islam tidak sewenang-wenang dengan menghalalkan segala cara terkait cara mendapatkan, mengembangkan dan menggunakan harta.

“Kegiatan mu‘amalah maliyyah harus didasarkan pada rasa cinta, kasih-sayang, dan toleran ketika melakukan penawaran, penjualan, pembelian, penagihan, dan pembayaran utang sehingga terhindar dari sengketa, penpuan, penimbunan, durhaka, dan kezhaliman,” tulis Jaih.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *