Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan bahwa Al-Qur’an adalah bentuk kata benda infinitif (mashdar) dari kata qara`a (قرأ) yang bermakna membaca atau mengumpulkan. Sedangkan, menurut terminologi Al-Qur’an adalah kitab suci yang berisi firman atau wahyu Allah ta’ala yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam sebagai mukjizat melalui perantara malaikat Jibril. Al-Qur’an terdiri atas 114 surat dan dibagi menjadi 30 bagian atau disebut juz. Jumlah seluruh ayatnya ada 6.666 buah.
Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan Al-Qur’an sebagai satu mukjizat yang membuktikan kerasulan Nabi Muhammad, dan keberadaan Allah SWT dengan segala sifat-sifat kesempurnaanNya. Membaca Al-Qur’an dan menghayati dan mengamalkannya adalah satu ibadah. Ia merupakan satu kitab panduan hidup manusia dan referensi utama umat Islam di samping sunnah Rasulullah.
Sejarah Turunnya Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan melalui perantara malaikat Jibril yang menyampaikan langsung kepada Rasulullah SAW. Proses turunnya Al-Qur’an secara bertahap atau mutawatir selama 22 tahun 2 bulan 22 hari.
Para sebagian ulama membagi periode turunnya Al-Qur’an dalam dua periode. Periode Mekkah sebelum hijrah, surat-surat yang turun pada waktu ini disebut (ayat-ayat makkiyyah) yang berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dengan jumlah 86 surat. Lalu, periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah hingga sesudah hijrah. Surat-surat yang turun pada waktu ini disebut (ayat-ayat madaniyyah), berlangsung selama 10 tahun dengan jumlah 28 surat.
Pada permulaan turunnya wahyu yang pertama adalah surat Al-Alaq ayat 1-5 bertempat di Gua Hira saat Nabi Muhammad SAW sedang menyendiri bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan dan sebelum Nabi hijrah sekitar tahun 610 M pada tanggal 6 Agustus. Saat itu Nabi Muhammad SAW belum diangkat menjadi Rasul, hanya berperan sebagai Nabi biasa yang belum ditugaskan untuk menyampaikan wahyu yang diterimanya. Sampai pada turunnya wahyu yang kedua barulah Nabi Muhammad diperintahkan untuk menyampaikan wahyu yang diterimanya, dengan adanya firman Allah yang artinya:
“Wahai yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan.”
(QS. Al-Muddassir (74):1-2)
Adapun Wahyu terakhir yaitu surat Al-Maidah ayat 3 yang di turunkan di Jabal Rahmah pada saat Haji Wa’da bertepatan pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 H atau 27 Oktober 632 M.
Sejarah Pembukuan Al-Qur’an
Sejarah pembukuan Al Qur’an dibagi ke dalam tiga fase, yaitu di masa Rasulullah, masa khalifah Abu Bakar, dan masa Utsman bin Affan. Ketiga masa memiliki perkembangan masing-masing agar Al Qur’an semakin mudah dibaca dan didapatkan oleh umat Islam.
- Masa Rasulullah SAW
Dengan keterbatasannya karena tidak dapat membaca dan menulis. Ketika setiap Rasulullah SAW mendapatkan wahyu, beliau langsung menyampaikannya kepada para Sahabat. Adapun Sahabat yang ditunjuk untuk menuliskan Al-Qur’an yakni Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab.
Penulisan Al-Qur’an tercatat masih sederhana dan berserakan pada beberapa media seperti pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat Rasulullah SAW langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an setelah wahyu diturunkan.Penulisan Al-Qur’an pada saat itu belum terkumpul menjadi satu mushaf, karena tidak ada faktor pendorong dalam membukuan Al-Qur’an mengingat Rasulullah SAW masih hidup dan para Sahabat juga menghafal. Alasan lain, karena Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur atau bertahap.
- Masa Khalifah Abu Bakar
Pada masa ini banyak sahabat Hafidz mati Syahid di Perang Yamamah. Jumlah yang syahid sekitar 50 qori. Maka dari itu, Umar bin Khattab mulai risau dan memikirkan masa depan akan Al-Qur’an. Kemudian, ia berdialog dengan Khalifah Abu Bakar untuk pengumpulan kembali Al-Qur’an. Karena kekhawatiran tersebut, maka Abu Bakar dan Umar bin Khattab mulai mengumpulkan lembaran ayat-ayat Al Qur’an. Lalu, Abu Bakar meminta Zaid ibn Tsabit, yaitu salah satu mantan juru tulis Nabi Muhammad SAW untuk menuliskan Al-Qur’an agar menjadi lembaran yang dapat disatukan. Setelah Al-Qur’an sudah menjadi satu mushaf yang tersusun secara rapih, mushaf tersebut diserahkan dan disimpan oleh Abu Bakar hingga beliau wafat. Lalu, Umar bin Khattab yang menjadi penerus pemegang mushaf hingga beliau wafat. Sepeninggal beliau, estafet penjagaan mushaf diteruskan oleh anaknya yang bernama Hafshah binti Umar bin Khattab yang juga salah satu istri Nabi Muhammad SAW.
- Masa Ustman bin Affan
Agama Islam semakin menyebar luas, sehingga menyebabkan perbedaan pengucapan beberapa kata dalam Al-Qur’an. Maka, Utsman bin Affan berinisiasi membuat standar Al-Qur’an atau biasa kita menyebutnya dengan Mushaf Utsmani. Dalam hal ini dibentuklah satu panitia oleh Utsman bin Affan, terdiri dari Zaid bin Tsabit (ketua), Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash dan Abdur rahman bin Harits bin Hissyam. Tujuannya untuk membukukan Al-Qur’an, yakni dengan menyalin dari lembaran-lembaran yang berisi ayat-ayat Al-Qur’an itu menjadi sebuah buku. Selain itu, ia menyeragamkan penulisan serta pembacaannya yang sesuai dengan dialek suku quraisy, sebab konon alqur’an diturunkan menurut dialek suku tersebut.
Utsman berusaha mengirim utusan kepada Hafsah binti Umar untuk meminta dokumen ayat-ayat Al Qur’an. Saat negosiasi, Hafsah mengizinkan dengan syarat Utsman mengembalikan dokumen asli saat ayat sudah selesai disalin. Utsman pun setuju. Setelah rapi dan jadi dalam bentuk dibukukan, mushaf mulai didistribusikan ke beberapa negara, seperti Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan Madinah sampai ke negara Islam lainnya. Utsman pun menepati janjinya untuk mengembalikan dokumen asli kepada Hafsah.
Sumber : Zakat.or.id
Berita Lainnya : Amalan di Bulan Suci Ramadhan